Resensi Novel Burung-Burung Manyar


a.       Judul                           : Burung-Burung Manyar
b.      Tahun terbit                 : 2001
c.       Jumlah halaman           : 406
d.      Pengarang                   : Y.B. Mangunwijaya
e.       Penerbit                       : Djambatan 1981
Saat hendak membaca buku ini, sejujurnya saya tidak begitu tertarik. Meskipun saya suka membaca novel, dari judul hingga tebal bukunya yang sebanyak 406 halaman ini membuat saya berpikir berulang kali saat hendak membacanya. Namun karena di semester 2 dulu saya dituntut untuk membaca novel ini, mau tidak mau saya harus membacanya. Awalnya saya berpikir novel ini pasti akan sangat membosankan, terlihat dari cover booknya yang bergambar seorang pria bertopi ala-ala pejuang. Saat membaca beberapa halaman pertama, saya tidak begitu antusias karena wiwitannya mengandung unsur cerita Jawa dan jaman perjuangan yang terkesan membosankan. Namun setelah membaca dari halaman ke halaman, saya akhirnya menemukan banyak hal menarik dari novel ini.
BURUNG-BURUNG MANYAR, novel bergenre roman karya Y.B Mangunwijaya ini penuh dengan ekspresi keberanian dan kejujuran tentang kehidupan manusia-manusia yang terlibat peperangan fisik maupun batin. Pengarang berusaha memperlihatkan pengetahuan dan pengalamannya yang luas dan mendalam tentang bagaimana kehidupan manusia berjalan. Mengambil latar di tahun 1934 hingga 1978, beliau mampu menggambarkan berbagai pengalaman dahsyat, keras, menyiksa, hingga keromantisan yang lembut dan mesra. Perpaduan antara bahasa Belanda, Jepang dan Jawa menjadi pilihan yang sangat tepat. Tak hanya itu, gaya bahasanya yang terbilang luas ini mampu menghidupkan dan membawa pembaca ke dalam kisah tersebut sehingga pembaca dapat merasakan kehidupan di masa itu.

Novel ini memiliki keunikannya tersendiri. Meskipun mengisahkan tentang Revolusi Indonesia kala itu, pengarang tak membuat pembaca merasa bosan karena di dalamnya terselip kisah cinta yang kuat antara tokoh utama yaitu Setadewa atau yang akrab disapa Teto ini dengan Den Rara Larasati atau Atik.
Nah, sekarang saya akan menganalisis beberapa unsur yang terdapat dalam novel ini. Dalam novel ini terdapat 3 bagian dengan 22 bab, diantaranya:
Bagian I 1934-1944
1.      Anak Kolong
2.      Anak Emas
3.      Buah Gugur
4.      Kuncup Merah
Bagian II 1945-1950
5.      Anak Harimau Mengamuk
6.      Merpati Lepas
7.      Singa Mengerti
8.      Banteng- Banteng Muncul
9.      Elang-elang Menyerang
10.  Macan Tutul Meraung
11.  Ayam-ayam Disambar
12.  Cenderawasih Terpanah
13.  Burung Kul Mendamba
Bagian III 1968-1978
14.  Jurang Besar
15.  Firdaus Kobra
16.  Nisan Perhitungan
17.  Gunung Rawan
18.  Aula Hikmah
19.  Pendopo Perjumpaan
20.  Rumah Pertanyaan
21.  Istana Perjuangan
22.  Sarang Manyar Baru


Tokoh dan Penokohan
        i.            Setadewa
Ia memiliki banyak panggilan seperti Teto, Den Mas Sinyo, atau Leo namun ia lebih sering dipanggil dengan Teto. Ia seorang keturunan Keraton dan Indo namun ia lebih suka menyebut dirinya dengan istilah anak kolong. Ia membenci pihak Jepang karena Ibu dan Ayahnya menjadi korban perilaku sadis Jepang kala itu, ia juga membenci Indonesia yang saat itu sedang berevolusi karena dinilai terlalu merendahkan diri dan menurut pada Jepang. Teto berwajah tampan karena mendapat keturunan dari Ibunya yang Indo, ia juga gagah dan sangat pemberani. Teto merupakan tipe orang yang sangat keras kepala, tak kenal takut dan selalu meninggikan harga dirinya di saat terancam sekalipun. Namun ia juga memiliki sisi kesepian dan kepedihan yang mendalam selama hidupnya. Ia begitu mencintai Atik, tetapi ia memiliki posisi yang berlawanan dengan cintanya itu karena Atik memiliki kesetiaan yang besar terhadap negerinya sedangkan Teto bahkan sangat membeci negeri yang dicintai Atik.
      ii.            Den Rara Larasati atau Atik
Tokoh utama wanita yang merupakan keturunan noni Jawa asli Betawi ini berwatak hampir sama dengan Teto. Ia gadis yang sangat hiperaktif, dilihat dari kecilnya ia dijuluki sebagai burung prenjak yang notabene suka menclak-menclok kesana kemari. Ia gadis yang ceria, pandai dan sangat pemberani. Berpendidikan tinggi dan berbudaya Jawa kental dengan sopan santun dan cita rasa adat Ningrat yang diajarkan oleh Ayah Ibunya.
    iii.             Janakatamsi
Ia adalah suami dari Atik, meskipun kemunculannya hanya beberapa bab di akhir cerita ia cukup menjadi tokoh yang disoroti dalam cerita ini. Ia merupakan pria modern yang berpendidikan tinggi sama seperti istrinya. Pria yang baik, penyabar, pengertian, tipe-tipe ideal seorang suami di masa itu maupun di masa sekarang. Meskipun begitu, ia juga memiliki sisi kekhawatiran karena takut tidak dapat mempertahankan Atik untuk terus bersamanya. Ia juga memilik sisi kesepian dalam dirinya meskipun sudah beristri dan dikaruniai 3 orang anak.
    iv.            Brajabasuki (Ayah dari Setadewa atau Teto)
Beliau adalah seorang yang pemberani, penyayang sekaligus pelindung keluarga. Meskipun kemunculannya hanya lewat penggambaran cerita, ia menjadi salah satu tokoh penting dalam novel ini.
      v.            Marice (Ibunda Teto)
Cantik, menyukai hal-hal yang bersifat kejawian seperti takhayul dan sejenisnya, tidak disiplin karena ia sering memanjakan anaknya meskipun dalam hal yang sederhana. Ia sangat mencintai suaminya Brajabasuki, wanita yang sangat setia.
    vi.             Pak Antana (Ayah Atik)
Sama seperti Brajabasuki, beliau adalah pria bertanggung jawab yang sayang keluarga sekaligus pelindung. Ia juga sangat dekat dengan putri semata wayangnya Atik.
  vii.            Bu Antana (Ibu Atik)
Ibu yang sangat baik, meskipun keturunan Keraton ia tidak memiliki sifat sombong sedikitpun. Ia sangat memahami putrinya Atik.
viii.            Mayor Verbruggen
Penyelamat hidup bagi Teto. Ia adalah pria yang mencintai Ibu Teto yaitu Marice. Meskipun cintanya tak terbalas, ia tidak memiliki sifat dendam terhadap Marice maupun Teto. Ia mendidik Teto menjadi pria yang kuat dan lebih pemberani lagi. Meskipun dalam hal ini Mayor Verbruggen tidak begitu disoroti namun perannya cukup besar dalam cerita ini.
Tema
Tema utama dari novel ini adalah kisah seseorang yang merasa gagal dalam menjalani hidup karena trauma di masa lalu. Namun adapula subtema dari novel ini yaitu perjuangan cinta antarmanusia dan ekspresi kekuatan dan keberanian seseorang demi sesuatu yang diinginkannya.
Latar
a.      Latar tempat: ada berbagai tempat yang menjadi latar dalam novel ini, namun yang dominan adalah di Jakarta, kemudian Bogor, Sala, Semarang dan Yogyakarta.
b.      Latar suasana: bisa mencekam, tertekan namun juga bebas dan terasa damai.
c.       Latar waktu: Sebelum dan sesudah Kemerdekaan.
Gaya bahasa
            Sudah dijelaskan diawal jika gaya bahasa yang digunakan memiliki kekhasan tersendiri. Ada yang secara gamblang dinyatakan, adapula yang tersirat maknanya. Gabungan antara bahasa baku, tidak baku, celetukan atau bahkan terkadang terasa pedas. Adapun tiga bahasa yaitu Jawa, Jepang dan Belanda membuat novel ini memiliki ketertarikannya tersendiri. Meskipun didominasi oleh bahasa Indonesia, Bahasa Belanda dan Jepangnya juga cukup menyita perhatian.


Alur
            Alurnya maju, dapat terlihat dari awal jika novel terbagi menjadi tiga bagian dengan urutan waktu mulai tahun 1934 yaitu sebelum Kemerdekaan hingga sesudah Kemerdekaan pada tahun 1978.
Amanat
            Yang saya tangkap, penulis ingin menyampaikan tentang lika-liku kehidupan yang dilalui oleh manusia sehingga amanat yang disampaikan adalah jadilah manusia yang mampu dan sanggup menjalani kehidupannya dengan baik serta siap menerima resiko apapun dari perbuatan yang telah dilakukannya.
Sudut Pandang
            Dari awal cerita ini berpusat pada kehidupan Teto dan Atik sehingga secara keseluruhan memang sudut pandang yang digunakan adalah sudut pandang orang ketiga serba tahu.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENELAAH UNSUR INSTRINSIK NOVEL BURUNG-BURUNG MANYAR

IMAN, ILMU DAN AMAL

BAHASA INDONESIA: TEKS PUISI