Analisis Mengenai Novel “SITTI Nur Baja”
Novel ini merupakan sebuah hikayat yang
menceritakan kasih tak sampai yang dialami oeh anak Padang bernama Samsulbahri
dan Sitti Nurbaya. Sebuah novel karangan Marah Rusli yang menjadi karya fenomenal
di masanya hingga sekarang. Di balik kesuksesannya ini, ternyata Marah Rusli
mengalami fase yang serupa meskipun tak sama. Mungkin tidak tertuliskan dalam
sejarah hidupnya tetapi pada masa itu ternyata Marah Rusli diketahui di paksa oleh
orang tuanya untuk kawin dengan seseorang yang tidak dicintainya sehingga
terciptalah sebuah karya fenomenal yang juga mengisahkan tentang kawin paksa
ini. Bisa dianggap bahwa novel karangannya ini sebenenarnya adalah curahan
hatinya sendiri akibat kekecewaannya terhadap keputusan kedua orang tuanya yang
memaksanya untuk kawin paksa kala itu. Meskipun muncul berbagai macam konflik
dalam novel ini, saya pikir novel ini mengangkat tema tentang Sitti Nurbaya
yang terpaksa menikah karena masalah keluarga dan perjuangan kekasihnya yaitu
Samsulbahri yang ingin merebutnya kembali dari Datuk Meringgih si kakek tua
yang merupakan suami dari Sitti Nurbaya.
Kemunculan dari Datuk Meringgih
sendiri sangatlah penting dalam novel ini, karena dengan keberadaannya, Datuk
Meringgih memunculkan berbagai macam konflik yang terus-menerus menyulut amarah
dari berbagai tokoh terutama Sitti Nurbaya dan juga sang kekasih Samsulbahri. Datuk
Meringgih tidak sepenuhnya bisa disebut sebagai tokoh antagonis karena meskipun
ia yang menyebabkan kebangkrutan dari usaha Ayah Sitti Nurbaya dan ia juga
berperangai buruk, bersifat bengis dan kikir namun Datuk Meringgih tidak pernah
memaksa Sitti Nurbaya untuk menikah dengannya, ia hanya memberikan pilihan
kepada Sitti yang meskipun tidak disetujui oleh ayahnya namun ternyata pada
akhirnya Sitti sendirilah yang membuat keputusan untuk menikah dengan si kakek
tua itu. Namun dalam kisah ini Datuk Meringgih memang lebih di posisikan sebagai tokoh antagonis
karena keberadaannya menyebabkan cinta antara Sitti Nurbaya dan Samsulbahri
tidak dapat bersatu meskipun keduanya masih saling mencintai dan masih terus
saling memperjuangkan hingga akhir hayat mereka.
Selain itu adapula tokoh Rubiah yang
merupakan kakak dari Sutan Mahmud Syah. Meskipun perannya tidak terlalu
dominan, namun melalui Rubiahlah terlihat jelas bahwa jaman dahulu masyarakat
Padang sangat kental dengan adat-adat yang mereka percayai. Mulai dari seseorang
yang berpangkat tinggi harusnya menikah lebih dari satu kali, kemudian anaknya
Putri Rukiah juga harus menyediakan banyak uang untuk melamar seorang lelaki
yang bakal jadi suaminya. Selain itu apabila seorang anak dari perempuan yang
meemiliki kakak atau adik laki-laki, maka yang bertanggung jawab atas anaknya
adalah kakak atau adik laki-lakinya bukan suaminya sendiri.
Kemudian alur, sudah terlihat jelas
bahwa alur yang ambil dalam novel ini adalah alur maju karena ceritanya begitu
urut dan rinci mulai dari pengenalan tokoh-tokohnya, kisah yang dijalani para
tokoh hingga akhir dari kisah tersebut.
Saya kira sudut pandang dalam novel
ini adalah sudut padang orang ketiga serba tau, karena tokoh “Aku” tidak muncul
dalam novel ini. Semuanya diceritakan begitu rinci dari awal hingga akhir
seolah-olah seseorang yang menceritakan hal itu memang benar-benar menyaksikan
kisah pelik yang dialami oleh Sitti Nurbaya dan Samsulbahri.
Latar tempat yang diambil adalah di
Padang, Sumatera Barat. Dapat dilihat jelas melalui penggunaan bahasa Melayu
dalam cerita, tempat yang pertama kali memunculkan tokoh yaitu Sekolah Belanda
Pasar Ambacang di Padang, Gunung Padang, rumah adat Padang dengan ciri khas
latar yang luas dan rumah berbentuk panggung yang di gambarkan dalam cerita. Latar
suasananya saya pikir banyak sekali mulai dari awal cerita yang menyenangkan,
membahagiakan, romantisme, hingga sedih. Namun saya berpikir lebih tepatnya
latar suasana dalam kisah ini adalah suasana sedih, amat menyedihkan akibat
dari permasalahan yang muncul dan tidak kunjung berhenti hingga akhir. Latar
waktu juga lengkap mulai dari waktu pagi, siang, malam. Namun jika dilihat dari
pendeskripsian kehidupan pada novel tersebut, waktunya sudah cukup lama dilihat
dari penggunaan bahasanya yang masih Melayu, kemudian adat budayanya yang masih
kental hingga jika ingin bersekolah tinggi haruslah pergi ke Ibukota dulu untuk
dapat menimba ilmu. Dan yang lebih jelasnya lagi, pencetakan buku pertama kali
yaitu pada tahun 1922 dimana pada jaman tersebut tentu kehidupan masihlah
sesuai dengan cerita yang digambarkan oleh Marah Rusli.
Komentar
Posting Komentar