MENGANCAM
KENANGAN
Kamis, 8 Oktober 2015 pukul
16:00. Bertempat di Gedung Pusat lantai 7 Universitas PGRI Semarang telah
diselenggerakan sebuah pagelaran drama teater persembahan dari “Teater Tikar”
yang berjudul “MENGANCAM KENANGAN” garapan Iruka Danishwara dan sutrada Ibrahim
Bhra.
Teater bertema
abstrak ini, menceritakan tentang kisah suram masa lalu seorang wanita yang
hidup sebatang kara. Ia tidak mau melupakan masa lalunya meskipun sang pagi
selalu memaksanya untuk menghapus ingatan pahit itu. Wanita itu bersikukuh
untuk tetap menyimpan kenangan tersebut, meskipun semakin hari kenangan itu semakin
dalam menenggelamkan dirinya sendiri. Ia tak pernah lupa mengucapkan selamat
pagi dari Pagi kepada pigura yang berjajar di ruang tamu. Debu-debu yang
menempel disana dan berdiam di sudut ruang tamu adalah saksi bungkam dari kisah
masa lalunya. Seperti itulah kenangan, tak perlu ia cari ‘kemana’ atau
‘dimana’. Di ibaratkan sebuah bak mandi, meskipun air keruh yang ada di
dalamnya telah di isi dengan air bersih yang baru, tetap saja air yang ada
dalam bak tidak akan hilang. Jika digantipun, kenangan yang ada takkan pernah
bisa dihapuskan. Jika malam tiba, wanita itu berbincang-bincang dengan dinding
yang turut bermuram. Entah mengapa begitu panjang masa yang mengancam itu.
Debu-debu bertanya kepada wanita itu, mengapa ia tidak pernah tau cara menghentikan apa saja yang datang kepadanya. Kemudian sang wanita menjawab, mengapa harus aku hentikan? bukankah sikap yang baik adalah menerima saja ? tapi wanita itu tidak pernah menyadari bahwa yang ia lakukan sebenarnya bukan menerima, tetapi membiarkan.
Dalam teater kemarin juga diceritakan bahwa wanita itu memiliki seoraang anak, si anak selalu memborbardir sang Ibu dengan pertanyaan yang sama, dimana ayahnya. Selalu saja pertanyaan itu. Pertanyaan yang tak pernah mampu di jawab oleh sang Ibu, pertanyaan yang sukses membuat sang Ibu diam seribu bahasa. Satu-satunya yang mengerti hanyalah bekas pigura yang pernah tergantung di ruang tamu miliknya dan debu-debu yang masih menempel disana.
Karena terlalu lelah bertanya dan tak kunjung ada jawaban, akhirnya si anak meminta untuk di ceritakan sebuah dongeng saja. Lalu sang Ibu menjawab, kau mau dongeng macam apa. Dongeng tentang puteri kesepian yang ditemukan oleh seorang pangeran tampan, ujar si anak pada wanita itu. Kemudian wanita itu menjawab lagi, apakah hanya dongeng itu saja yang kau tahu, nak? karena jika hanya itu, akupun adalah wanita kesepian yang ditemukan oleh ayahmu yang bersayap emas itu. Si anak kembali berujar, kalau begitu tentang puteri kesepian yang disiksa oleh malam, mengadu pada pagi karena ditinggal oleh sang pangeran. Dan lagi-lagi wanita itu menyahut, apakah hanya itu saja yang kau tahu tentang dongeng? Karena jika hanya begitu , akupun selalu disiksa oleh malam dan mengadu pada pagi karena ditinggal oleh ayahmu. Berarti hidupmu adalah dongeng ? sahut si anak. Wanita itu menggeleng, namun setelah itu mengangguk juga. Dongeng adalah masa lalunya yang tercoret di dinding-dinding kamarnya, ada tiga pigura yang terpajang diruang tamunya. Namun bukan juga dongeng, karena ia bukan Puteri dan lelaki yang dicintainya bukan seorang Pangeran. Wanita itu hanya seorang yang sibuk menyapu teras rumahnya setiap pagi dan lelaki yang dicintainya hanya seonggok tubuh yang menghilang. Yang tersisa hanya kepala yang ada di lututnya itu.
Saat malam itu datang, wanita itu bertanya pada malam bagaimana bentuk kenangan yang selalu di bawa mereka setiap harinya, sekutu darimanakah ia, apakah sebentuk makhluk atau ruh, dimanakah mereka hidup, mengapa mereka selalu ada dan menghantui hidupnya, dan bagaimana jika ia berdamai dengan malam dan pagi. Ia berjanji tidak akan memusuhi pagi dan malam jika mereka mampu membawa kenangan itu bersamanya.
Di keesokan harinya, wanita itu enggan menyapu teras rumahnya. Kerikil-kerikil dibiarkan mengotori dan minggir sendiri. Kemudian dengan sejuta emosi yang tak dapat dibendung lagi, wanita itu menyingkirkan tiga pigura yang berjajar diruang tamunya. Ia sudah tak sudi lagi meletakan jemarinya di atas pigura dan semua debu-debu pun beterbangan. Wanita itu berharap agar semua kenangan-kenangannya ikut serta masuk kedalam laci lemari dimana pigura-pigura itu disimpan. Wanita itu kembali teringat akan kisah masa lalunya, saat dimana kepala itu tenggelam di dadanya. Tangis yang meledak terdengar membahayakan seperti seribu serdadu yang datang tiba-tiba dipagi buta kala itu.
Si anak teringat saat dadanya terasa sangat sesak dengan tangis dan getaran di bibirnya. Dimana sebelumnya ia menemukan tubuh di bak mandi yang membuat ia tega berlutut dikaki wanita itu dan meminta untuk pergi. Wanita itu selalu berkeluh kesah. Kemudian ia teringat lagi pada sebuah malam, saat bibir bergetar dan getar itu berpindah ke mata sang wanita yang begitu muram. Tanpa ia sadari juga bahwa dengan caranya itu, masa lalu sang Ibu semakin tergambar jelas dan banyak yang tertumpuk dalam memori ingatannya. Sesuatu yang disebut dengan kenangan itu menjadi lebih besar dari yang pernah di bayangkan sebelumnya. Sedikit rasa sesal muncul perlahan dan kuat dalam hatinya , sesal itu juga datang ketika mengingat wanita yang bukan lain bukan tidak adalah Ibunya yang kini hidup sebatang kara karena di tinggal olehnya.
Realitanya adalah kenangan tidak akan pernah pergi. Kenangan akan selalu tumbuh dan menua di tempatnya namun ia abadi dan tidak dapat mati. Kenangan adalah energi yang kekal, bisa diciptakan namun tidak bisa dimusnahkan bagaimanapun caranya. Wanita itu telah menghilangkan pigura-pigura itu dari tempatnya, ia juga telah berhenti membersihkan kerikil dari teras rumahnya namun kenangan itu bukannya pergi namun malah semakin menjadi-jadi. Kenangan itu tidak bermula dan tidak juga berakhir. Karena meskipun segala cara yang telah ditempuh untuk membuangnya jauh-jauh, hal itu hanyalah usaha yang percuma.
“Dan mungkin yang kekal didunia ini selain Tuhan, adalah kenangan... “
Itulah kalimat penutup dari kisah drama teater yang telah
ditampilkan oleh Teater Tikar Semarang pada tanggal 8 oktober kemarin. Pada awalnya
saya memang kesulitan memahami inti dari drama yang ditampilkan saat itu,
menceritakan tentang apakah drama tersebut dan apa pesan yang ingin disampaikan
oleh para tokoh dan penggarapnya. Namun setelah melewati sesi diskusi dengan
para pemain, sutaradara beserta kru, akhirnya saya dapat memahami apa inti dan
pesan dari drama yang di tampilkan tersebut. Debu-debu di hidupkan sebagai
makhluk yang selalu berkomunikasi dengan wanita itu. Disini lelaki ditindas dan
perempuan juga sebaliknya. Jika dilihat dari jauh perempuan memang mendominasi
akan tetapi lelaki sebagai korban dan juga mengorbankan saling berkesinambungan
sehingga semua sama tidak ada yang lebih bahagia ataupun menderita. Drama ini
juga telah melewati tiga kali proses gagal. Begitulah penuturan singkat dari
Sang Sutradara.
Mengapa teater ini diberi judul Mengancam Kenangan? pertanyaan ini muncul dari salah satu audience yang hadir sore itu. “Agar setiap orang yang menyaksikan drama ini dapat meninggalkan kenangan yang ada dalam kehidupan mereka, move on. Menurutnya kenangan itu semacam tumpukan buku dan tumpukan itu takkan bisa hilang jika kita terus saja melawan kenangan tersebut, yang seharusnya kita lakukan adalah mengancam kenangan itu dan berusaha menerimanya. “Lagi-lagi hal ini dituturkan oleh Sang Sutradara yang pernah memakan bangku pendidikan di Universitas PGRI Semarang meskipun akhirnya memutuskan untuk berhenti.
Pertunjukan drama
yang di gelar di Gedung Pusat Universitas PGRI Semarang lantai 7 ini, menggunakan
bahasa-bahasa kiasan yang menurut saya cukup sulit untuk dipahami karena
terlalu banyak monolog. Namun jika kita menonton dengan fokus dan serius maka
drama ini dapat mudah kita pahami. Drama teater MENGANCAM KENANGAN ini ingin
menyampaikan pesan bahwa selain Tuhan, yang kekal di dunia ini adalah kenangan.
Dan baru saya sadari bahwa setiap harinya kisah hidup kita disaksikan oleh
saksi nyata, yaitu debu. Debu adalah salah satu saksi bungkam bagaimana semua
kisah dalam hidup kita terjadi. Seperti itulah hal yang dapat saya pahami dan
ambil dari kisah drama teater MENGANCAM KENANGAN sore itu.
Komentar
Posting Komentar